Pendiri Lonely Planet Ogah ke Bali Lagi, Ini Penyebabnya
Bali selama bertahun-tahun dikenal sebagai surga wisata dunia. Pulau Dewata menyihir jutaan pelancong
dari berbagai negara dengan keindahan alamnya, budaya yang kaya, keramahan penduduk, dan suasana spiritual yang menenangkan.
Namun baru-baru ini, pernyataan mengejutkan datang dari salah satu tokoh wisata paling berpengaruh di dunia—Tony Wheeler, pendiri buku panduan wisata legendaris Lonely Planet.

Dalam wawancaranya dengan sejumlah media Australia, Wheeler secara terang-terangan mengatakan bahwa ia enggan kembali ke Bali.
Pernyataan tersebut memicu perhatian luas, tidak hanya di kalangan wisatawan, tapi juga pemerintah dan pelaku industri pariwisata Indonesia. Mengapa tokoh besar seperti Tony Wheeler bisa sampai pada kesimpulan tersebut?
Pendiri Lonely Planet Ogah ke Bali Lagi, Ini Penyebabnya
Bagi dunia pariwisata, nama Tony Wheeler bukan sosok asing. Bersama istrinya, Maureen Wheeler, ia mendirikan Lonely Planet
pada tahun 1972. Berawal dari pengalaman berkeliling Asia, pasangan ini membuat panduan perjalanan pertama mereka
yang kemudian berkembang menjadi salah satu penerbit buku panduan wisata paling berpengaruh di dunia.
Lonely Planet terkenal karena mendukung gaya perjalanan backpacker, bertanggung jawab, dan menghargai budaya lokal.
Dengan jutaan eksemplar buku terjual dan platform digital yang menjangkau wisatawan global, opini Tony Wheeler pun memiliki bobot besar dalam dunia pariwisata.
Pernyataan yang Menggemparkan
Dalam wawancara eksklusif dengan The Sydney Morning Herald, Tony menyebut bahwa Bali sudah kehilangan pesonanya. Ia menyatakan bahwa kunjungan terakhirnya ke Bali meninggalkan kesan buruk karena:
-
Kemacetan lalu lintas yang parah
-
Peningkatan jumlah bangunan tanpa kontrol
-
Perilaku wisatawan asing yang tidak menghormati budaya lokal
-
Overcrowding (keramaian berlebihan) di destinasi populer
Tony mengatakan, “Bali telah berubah menjadi tempat yang jauh berbeda dari pertama kali saya mengunjunginya. Saya tidak lagi melihat keaslian yang dulu membuat saya jatuh cinta pada pulau ini.”
Masalah Over-Tourism
Apa yang disampaikan Tony Wheeler bukanlah hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, Bali memang menghadapi tantangan besar berupa over-tourism atau kelebihan kapasitas kunjungan wisatawan. Wilayah seperti Canggu, Kuta, dan Ubud mengalami lonjakan pembangunan vila, hotel, dan pusat hiburan yang memicu kemacetan, kenaikan harga, serta tekanan terhadap infrastruktur dan sumber daya alam.
Beberapa dampak nyata dari over-tourism di Bali antara lain:
-
Krisis air bersih di wilayah selatan karena alokasi lebih banyak untuk kebutuhan wisatawan
-
Peningkatan sampah dan polusi, termasuk limbah plastik di pantai
-
Kemacetan lalu lintas parah, terutama di destinasi favorit
-
Ketegangan antara wisatawan asing dan penduduk lokal, akibat pelanggaran norma budaya dan hukum
Wisatawan Asing yang Tak Terkontrol
Honda Slot Salah satu sorotan yang diungkap Tony adalah perilaku sebagian wisatawan asing yang tidak menghargai nilai lokal, seperti:
-
Masuk pura tanpa pakaian sopan
-
Berkendara ugal-ugalan tanpa SIM dan helm
-
Membuat konten media sosial kontroversial demi popularitas
Fenomena ini bahkan mendorong pemerintah Bali untuk mengeluarkan panduan etika bagi wisatawan asing, termasuk larangan aktivitas tertentu di tempat suci dan penegakan hukum lalu lintas yang lebih ketat.
Reaksi Warganet dan Pemerintah
Pernyataan Tony Wheeler memicu reaksi beragam dari publik. Banyak netizen, baik lokal maupun mancanegara, mengamini pendapat Tony, terutama mereka yang pernah berkunjung ke Bali dalam dua dekade terakhir.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa pandangan tersebut terlalu pesimistis, dan bahwa Bali masih menyimpan banyak tempat indah di luar destinasi mainstream seperti Nusa Penida, Amed, Munduk, dan Bangli yang masih alami dan belum banyak terjamah.
Pemerintah Provinsi Bali sendiri belum memberikan komentar resmi atas pernyataan Tony, namun sebelumnya telah mengakui adanya masalah over-tourism dan berjanji akan mendorong pembangunan pariwisata yang lebih berkualitas dan berkelanjutan.
Langkah yang Telah Diambil
Beberapa langkah yang telah diambil oleh pemerintah daerah maupun pusat untuk mengatasi permasalahan pariwisata di Bali antara lain:
-
Penerapan retribusi wisatawan asing sebesar Rp150 ribu, mulai tahun 2024
-
Kampanye Bali Ramah Lingkungan dan Bebas Plastik
-
Pembangunan infrastruktur penunjang di luar Bali Selatan, seperti Bandara Bali Utara
-
Peningkatan promosi terhadap pariwisata berbasis budaya dan spiritual
-
Pemberlakuan aturan ketat terhadap investor asing dan pembangunan vila ilegal
Namun, banyak pihak menilai bahwa langkah-langkah tersebut belum cukup tegas, dan implementasinya seringkali lemah di lapangan.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kritik Ini?
Kritik Tony Wheeler sebenarnya dapat menjadi evaluasi penting bagi pengelolaan pariwisata di Indonesia, khususnya di destinasi yang sudah mapan seperti Bali. Jika tokoh dunia saja bisa merasa kecewa, bukan tidak mungkin wisatawan lain pun akan berpikir dua kali untuk berkunjung kembali.
Penting bagi pemerintah dan pelaku industri untuk:
-
Mengalihkan beban pariwisata ke daerah lain yang potensial, seperti Flores, Wakatobi, Sumba, atau Tana Toraja
-
Memperketat regulasi pembangunan agar tidak merusak daya tarik alam dan budaya
-
Mendorong wisatawan untuk bersikap lebih etis dan bertanggung jawab
-
Memberdayakan komunitas lokal agar mereka tidak hanya jadi penonton dalam industri pariwisata
Haruskah Kita Khawatir?
Ya dan tidak. Di satu sisi, Bali tetap menjadi salah satu destinasi terbaik di dunia dengan keunikan budayanya. Namun di sisi lain, jika peringatan dari tokoh seperti Tony Wheeler tidak direspon dengan serius, Bali bisa mengalami kemunduran daya tarik wisata jangka panjang.
Pelestarian lingkungan, etika pariwisata, dan tata kelola destinasi yang baik akan menjadi kunci jika Indonesia ingin mempertahankan reputasinya sebagai “surga wisata dunia” yang tidak hanya menarik, tetapi juga berkelanjutan.
Baca juga:Efisiensi Anggaran Bikin Okupansi Hotel di Yogyakarta Turun, PHRI Minta Empati Pemerintah
Kesimpulan: Kritik yang Perlu Didengar
Pernyataan Tony Wheeler, pendiri Lonely Planet, tentang keengganannya kembali ke Bali bukan sekadar kritik, tetapi peringatan dari seseorang yang mencintai perjalanan dan pernah mengagumi Bali dengan penuh semangat. Kritik ini bisa menjadi cambuk bagi semua pihak untuk kembali menata pariwisata Bali agar lebih manusiawi, adil, dan selaras dengan alam dan budaya.
Karena pada akhirnya, pariwisata bukan hanya soal angka kunjungan, tetapi soal pengalaman, nilai, dan warisan yang ingin kita pertahankan.