Efisiensi Anggaran Bikin Okupansi Hotel di Yogyakarta Turun, PHRI Minta Empati Pemerintah
Industri perhotelan di Yogyakarta tengah menghadapi tantangan berat menyusul kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat dan daerah.
Kebijakan ini secara langsung berdampak pada tingkat hunian atau okupansi hotel, yang dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan tren penurunan signifikan.
Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta pun menyampaikan keprihatinannya dan meminta pemerintah
untuk menunjukkan empati serta mempertimbangkan dukungan kebijakan yang bisa menjaga keberlangsungan industri pariwisata di daerah tersebut.

Yogyakarta, yang selama ini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia, kini merasakan pukulan akibat berkurangnya kegiatan pemerintah yang selama ini turut menopang sektor perhotelan.
Artikel ini akan mengulas secara komprehensif penyebab penurunan okupansi, respons pelaku industri, hingga harapan terhadap intervensi pemerintah ke depan.
Efisiensi Anggaran Bikin Okupansi Hotel di Yogyakarta Turun, PHRI Minta Empati Pemerintah
Menurut data terbaru dari PHRI DIY, tingkat okupansi hotel di Yogyakarta mengalami penurunan hingga 20–30 persen dalam tiga bulan terakhir.
Padahal, sebelumnya tingkat hunian hotel di kota budaya ini cukup stabil, terutama saat memasuki masa libur panjang atau musim liburan sekolah.
Kebijakan efisiensi anggaran oleh berbagai instansi pemerintahan menyebabkan minimnya kegiatan-kegiatan seperti rapat, seminar, pelatihan, maupun acara dinas lainnya yang biasanya digelar di hotel. Acara-acara inilah yang selama bertahun-tahun menjadi sumber pemasukan utama bagi hotel-hotel di Yogyakarta, khususnya untuk kategori hotel bintang tiga ke bawah.
Beberapa hotel bahkan mulai memangkas layanan, merumahkan karyawan secara bergilir, dan menunda proyek renovasi karena berkurangnya pendapatan operasional.
Peran Kegiatan Pemerintah dalam Industri Hotel
Kegiatan pemerintahan memiliki kontribusi besar terhadap okupansi hotel di banyak daerah, termasuk Yogyakarta.
Dalam satu bulan, belasan hingga puluhan kegiatan dari instansi pusat dan daerah dapat digelar di hotel-hotel.
Selain menyewa ruang pertemuan kegiatan ini juga mencakup pemesanan kamar, konsumsi katering, serta penyediaan transportasi dan layanan lainnya.
“Ketika pemerintah menahan kegiatan dan perjalanan dinas, efeknya langsung terasa di sektor perhotelan. Ini bukan hanya soal bisnis,
tapi juga menyangkut nasib para pekerja di industri ini,” ujar Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono.
Efisiensi Anggaran dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah memang tengah mendorong efisiensi belanja negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan fiskal yang sehat.
Kebijakan ini mencakup pembatasan perjalanan dinas, pemangkasan anggaran MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition), hingga digitalisasi sejumlah kegiatan yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka.
Langkah ini diambil seiring kebutuhan untuk menjaga defisit anggaran dan memprioritaskan belanja pada sektor-sektor strategis
seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun, PHRI menilai bahwa kebijakan tersebut tidak boleh diambil secara general tanpa melihat
dampaknya terhadap sektor lain, khususnya industri pariwisata yang juga menyerap tenaga kerja besar.
PHRI Minta Pemerintah Tunjukkan Empati
Menanggapi kondisi yang semakin berat, PHRI meminta pemerintah untuk lebih peka terhadap dampak kebijakan efisiensi ini.
Menurut mereka, empati pemerintah bisa diwujudkan dengan cara menyesuaikan kebijakan agar tidak terlalu menekan industri perhotelan.
PHRI mengusulkan agar:
-
Sebagian kegiatan pemerintahan tetap dapat dilakukan di daerah-daerah wisata untuk mendukung perekonomian lokal.
-
Pemerintah memberi insentif atau subsidi pajak daerah bagi pelaku hotel dan restoran yang terdampak.
-
Diberikan kelonggaran atau relaksasi kewajiban administrasi tertentu bagi pelaku usaha pariwisata yang mengalami kesulitan keuangan.
“Jangan sampai efisiensi anggaran justru mematikan sektor riil di daerah. Pariwisata ini adalah wajah Indonesia, dan hotel menjadi bagian penting di dalamnya,” ungkap Deddy.
Dampak Berantai ke Industri Lain
Penurunan okupansi hotel bukan hanya berdampak pada pelaku usaha perhotelan, tetapi juga memiliki efek domino terhadap sektor-sektor pendukung lainnya.
Usaha katering, penyedia dekorasi, transportasi, laundry, hingga UMKM lokal yang menjual suvenir juga mengalami penurunan omzet.
Beberapa pengusaha UMKM di Malioboro menyatakan bahwa jumlah pengunjung yang datang berkurang drastis sejak awal tahun.
Hal ini juga diperparah dengan menurunnya kunjungan wisatawan dari instansi atau rombongan pemerintah yang biasanya menjadi pembeli utama produk kerajinan lokal.
Situasi ini mengancam ekosistem pariwisata Yogyakarta yang selama ini tumbuh secara organik dan menjadi andalan ekonomi daerah.
Upaya Bertahan Pelaku Hotel
Di tengah tekanan yang ada, para pelaku hotel di Yogyakarta tidak tinggal diam. Berbagai strategi dilakukan untuk menarik tamu individu dan wisatawan non-pemerintah, seperti:
-
Memberikan diskon harga kamar dan paket menginap
-
Menyediakan promo bundling untuk keluarga atau pelajar
-
Menyasar pasar digital nomad dengan menawarkan paket long stay dan coworking
-
Menjalin kerja sama dengan travel agent online dan influencer media sosial
Namun, tanpa dukungan struktural dari pemerintah, langkah-langkah ini hanya mampu memberi efek jangka pendek.
Terlebih dengan naiknya biaya operasional akibat inflasi dan kenaikan harga energi, margin keuntungan hotel semakin tergerus.
Peran Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya telah menyadari adanya penurunan kunjungan dan berjanji akan melakukan koordinasi lintas sektor.
Beberapa kebijakan telah dirancang, seperti mendorong event pariwisata lokal, festival budaya, dan promosi wisata daerah melalui media sosial dan kerja sama BUMN.
Namun, pelaku industri menilai bahwa hal ini masih belum cukup kuat untuk menggantikan peran kegiatan pemerintah yang selama ini sangat dominan.
PHRI pun mengajak Pemda DIY untuk memperkuat sinergi dengan pelaku usaha dalam menggelar acara-acara promosi dan pelatihan bagi pelaku industri perhotelan, serta memfasilitasi insentif dari pemerintah pusat.
Harapan terhadap Pemerintah Pusat
Ke depan, PHRI berharap pemerintah pusat bisa menyusun kebijakan efisiensi yang lebih selektif dan tidak menyamaratakan semua jenis pengeluaran.
Kegiatan dinas di hotel, jika dikelola dengan baik dan efisien, tetap bisa memberikan nilai tambah bagi daerah dan pelaku usaha lokal.
Selain itu, pemberian insentif melalui pengurangan pajak hotel dan restoran (PHR), penangguhan utang pinjaman modal usaha, atau program stimulus ekonomi dapat menjadi penyelamat sektor ini dari ancaman kebangkrutan massal.
Dengan komitmen bersama antara pemerintah dan pelaku industri, PHRI yakin bahwa sektor pariwisata Indonesia
khususnya perhotelan di Yogyakarta, dapat bangkit kembali dan berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga:Gaya Glamor Maxime Bouttier dan Luna Maya di Resepsi Pernikahan Kedua, Pakai Kalung Rp 2 Miliar
Kesimpulan
Penurunan okupansi hotel di Yogyakarta akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah menjadi alarm serius bagi keberlangsungan industri pariwisata di daerah.
Dalam situasi ini, empati dan respons dari pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjaga agar industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini tidak semakin terpuruk.
Kolaborasi, penyesuaian kebijakan, serta dukungan fiskal yang tepat akan menjadi kunci agar sektor perhotelan tetap hidup dan mampu
menghadapi tekanan global maupun domestik. Karena pada akhirnya, hotel bukan hanya tempat menginap—melainkan bagian dari wajah keramahan dan keberagaman Indonesia.