Jumlah Turis ke Bali Naik, tapi Pengusaha Mengeluh Hotel Sepi, Kok Bisa?
Pulau Bali kembali mencatat peningkatan jumlah wisatawan yang datang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pariwisata menunjukkan tren positif dalam kunjungan turis pasca-pandemi COVID-19. Bahkan, Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sempat mencatat rekor penerbangan tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Namun di balik lonjakan tersebut, muncul ironi: banyak pengusaha hotel dan pengelola akomodasi pariwisata justru mengeluhkan tingkat hunian (okupansi) yang rendah. Bahkan beberapa hotel bintang tiga dan empat di kawasan populer seperti Kuta, Legian, dan Sanur, dilaporkan hanya memiliki tingkat hunian di bawah 40%.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: jika jumlah turis meningkat, kenapa banyak hotel justru sepi?

Jumlah Turis ke Bali Naik, tapi Pengusaha Mengeluh Hotel Sepi, Kok Bisa?
Selama kuartal pertama 2025, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Bali tercatat meningkat hingga 28% dibandingkan tahun lalu. Wisatawan asal Australia, India, Tiongkok, dan Eropa masih mendominasi. Selain itu, wisatawan domestik dari Jakarta, Surabaya, dan Makassar juga menunjukkan antusiasme tinggi untuk kembali berlibur ke Pulau Dewata.
Pemerintah Provinsi Bali bahkan menargetkan 7 juta kunjungan wisman hingga akhir tahun, seiring dengan stabilnya situasi pascapandemi dan meningkatnya frekuensi penerbangan internasional.
Keluhan Pelaku Usaha: Hotel Sepi, Pendapatan Menurun
Meski angka kunjungan meningkat, pengusaha hotel mengeluhkan bahwa tingkat hunian kamar tidak sebanding. Salah satu pengelola hotel di kawasan Nusa Dua menyebut bahwa rata-rata okupansi hanya mencapai 35% sepanjang April 2025. Padahal periode ini termasuk masa liburan sekolah dan hari besar keagamaan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali. Menurut mereka, hanya segelintir hotel berbintang lima atau properti yang terafiliasi dengan jaringan internasional yang mencatat okupansi di atas 60%.
Perubahan Pola Perilaku Wisatawan
Salah satu faktor utama yang menjelaskan ketimpangan ini adalah perubahan pola perilaku wisatawan CERDAS4D Pasca-pandemi, banyak turis—terutama dari generasi milenial dan Gen Z—lebih memilih akomodasi alternatif, seperti:
-
Villa pribadi yang bisa dipesan melalui Airbnb
-
Guest house atau homestay lokal yang lebih murah
-
Hostel dengan konsep komunitas
-
Paket liburan yang mencakup akomodasi di luar platform konvensional
Selain itu, wisatawan cenderung mencari pengalaman yang lebih personal dan fleksibel. Mereka lebih suka menginap di tempat yang unik dan instagramable, ketimbang hotel konvensional.
Dominasi OTA dan Platform Booking Online
Kehadiran Online Travel Agent (OTA) seperti Booking.com, Agoda, Tiket.com, dan Traveloka semakin mendominasi pasar akomodasi. Banyak hotel, terutama yang tidak memiliki strategi digital yang kuat, kalah bersaing dari villa atau akomodasi alternatif yang mengandalkan sistem algoritma, rating pengguna, dan harga promo di platform online.
Beberapa pengusaha hotel mengaku kesulitan bersaing harga dengan akomodasi alternatif yang bisa menawarkan diskon besar karena biaya operasional yang lebih rendah.
Kesenjangan Wilayah: Wisata Tertumpuk di Area Tertentu
Lonjakan wisatawan ternyata tidak menyebar merata ke seluruh Bali. Sebagian besar turis hanya terkonsentrasi di area tertentu seperti Canggu, Ubud, dan Uluwatu, yang kini dianggap sebagai “zona hits” dan populer di media sosial. Kawasan Kuta dan Legian, yang dulu jadi pusat turisme, kini mulai ditinggalkan karena dianggap terlalu ramai, mahal, dan kurang menawarkan pengalaman baru.
Hal ini membuat hotel-hotel di kawasan lama mengalami penurunan okupansi, sementara properti di wilayah-wilayah “baru” penuh bahkan sampai daftar tunggu.
Tantangan Transformasi Digital di Industri Perhotelan
Masih banyak hotel tradisional yang belum bertransformasi ke arah digital. Mereka masih mengandalkan metode pemasaran konvensional, kurang memanfaatkan media sosial, serta tidak optimal dalam penggunaan data untuk menarik pelanggan.
Di sisi lain, penginapan berbasis digital seperti villa sewaan via Airbnb sudah lebih dulu memahami kebutuhan pasar. Mereka mampu menawarkan paket bundling, layanan tanpa tatap muka, hingga fitur unik yang membuat turis betah berlama-lama.
Transformasi digital bukan hanya soal membuat website, tapi menyangkut seluruh ekosistem pelayanan yang lebih agile dan efisien.
Regulasi yang Belum Tegas terhadap Akomodasi Alternatif
Salah satu kritik dari pelaku usaha hotel adalah longgarnya regulasi terhadap akomodasi non-formal. Banyak villa, guest house, atau rumah sewaan yang beroperasi tanpa izin lengkap, tidak membayar pajak pariwisata, dan bahkan tidak mengikuti standar keamanan atau lingkungan.
Hal ini menciptakan kompetisi yang tidak seimbang, karena hotel resmi harus membayar pajak, retribusi, dan mematuhi regulasi yang ketat. Pemerintah daerah diharapkan turun tangan untuk menertibkan akomodasi ilegal agar industri pariwisata tumbuh secara adil dan sehat.
Baca juga:Warna Paling Populer di Dunia Fashion Saat Ini: Simak Daftarnya
Solusi dan Langkah Strategis ke Depan
Untuk mengatasi fenomena hotel sepi di tengah peningkatan kunjungan wisatawan, beberapa langkah strategis bisa diambil:
-
Mendorong Digitalisasi Hotel
Pelaku usaha harus lebih adaptif dalam mengadopsi teknologi digital, mulai dari sistem reservasi online, promosi media sosial, hingga integrasi dengan platform OTA. -
Diversifikasi Layanan
Hotel bisa menghadirkan nilai tambah seperti coworking space, kelas yoga, tur budaya, atau paket pengalaman khas Bali yang tidak ditemukan di tempat lain. -
Kolaborasi dengan Influencer dan Komunitas Digital
Menarik wisatawan generasi muda bisa dilakukan dengan menggandeng influencer, travel blogger, atau komunitas konten kreator. -
Pemerataan Promosi Wilayah Wisata
Pemerintah bisa membantu menyebarkan wisatawan ke wilayah baru seperti Buleleng, Bangli, atau Karangasem untuk mencegah penumpukan di zona tertentu. -
Penataan Regulasi Akomodasi Alternatif
Villa, guest house, dan rumah sewa harus diberikan regulasi yang jelas agar menciptakan iklim usaha yang sehat dan setara.
Kesimpulan: Pariwisata Bali Perlu Adaptasi Menyeluruh
Fenomena meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali namun disertai keluhan hotel sepi menunjukkan bahwa industri pariwisata sedang mengalami disrupsi besar. Perubahan preferensi wisatawan, dominasi digital, hingga munculnya akomodasi alternatif memaksa para pelaku usaha untuk melakukan adaptasi serius.
Kini bukan hanya soal mendatangkan wisatawan, tapi juga tentang bagaimana menghadirkan pengalaman menginap yang sesuai dengan tren dan kebutuhan zaman. Hanya pelaku usaha yang siap berubah dan berpikir inovatif yang akan bertahan di tengah kompetisi yang semakin kompleks.
Bali tetap menjadi destinasi favorit dunia. Namun agar seluruh elemen industri mendapatkan manfaatnya, perlu strategi kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas lokal demi pariwisata yang adil, berkelanjutan, dan modern.